Beberapa waktu lalu, penggemar game lokal dihebohkan dengan kehadiran Lokapala, game MOBA pertama besutan pengembang lokal. Game ini dibuat oleh tim developer yang berbasis di Jakarta bernama Anantarupa Studios. Pada saat pertama kali rilis, Lokapala memancing banyak keraguan, termasuk oleh saya sendiri.
Ulasan saya soal Lokapala terbit pada saat game tersebut pertama kali muncul di Google Play Store pada Februari 2020. Ketika itu game ini masih dalam status Beta dengan segala macam keterbatasannya. 20 Mei 2020 kemarin, Lokapala dengan resmi diluncurkan lewat sebuah acara konferensi pers yang diselenggarakan secara online.
Seiring dengan peluncuran tersebut, sedikit demi sedikit perbaikan dilakukan untuk Lokapala. Bahkan, game Lokapala berada di titik siap untuk dipertandingkan, yang hadir dalam gelaran turnamen bertajuk Melon Minor Tournament. Untuk menuju dari titik awal pengembangan hingga sekarang, tentu butuh proses dan kerja keras. Penasaran dengan perjalanan tersebut, saya berbincang dengan Diana Paskarina, COO serta Co-Founder Anantarupa Studios. Dalam perbincangan tersebut, Diana menceritakan soal alasan Anantarupa Studios membuat MOBA, juga rencana masa depannya untuk game ini
Berawal dari 2017
Saat ditanyakan soal awal mula dicetuskannya Lokapala, Diana menceritakan bahwa itu semua dimulai pada 3 tahun yang lalu, sekitar tahun 2017. “Ketika itu MOBA di mobile kan memang sudah mulai terdengar gaungnya, namun belum sebesar seperti sekarang. Melihat bagaimana potensi MOBA ketika itu membuat kami sebagai developer game lokal tergerak untuk membuat game MOBA kami sendiri.” Cerita Diana.
Memang pada saat berbincang dengan saya, Diana tidak menyatakan secara langsung soal MOBA yang menjadi inspirasinya. Namun jika ia mengatakan inspirasinya datang dari 3 tahun yang lalu, bisa jadi apa yang dimaksud adalah Mobile Legends. Tahun itu menjadi tahun pertama kompetisi Mobile Legends Southeast Asia Cup diselenggarakan di Indonesia. Gelaran tersebut menjadi satu momen fenomenal, yang juga bisa dibilang menjadi titik balik bagi perkembangan esports di Indonesia.
Lebih lanjut, Diana juga menceritakan bahwa dirinya dan tim Anantarupa juga sudah mengenal kehadiran Dota sebelumnya, bahkan memainkannya ketika sedang populer di skena lokal di sekitar 4 sampai 5 tahun yang lalu.
Namun demikian, bersaing di pasar MOBA tentu bukan perkara yang mudah. Apalagi, genre game ini tergolong genre game yang sudah tua. Walaupun masih cukup belia di pasar mobile, namun game ini sudah ada sejak dari lama sekali di platform PC. League of Legends sudah 11 tahun beredar di pasaran. Dota 2 sudah 7 tahun ada di pasaran. Juga jangan tanya kapan pertama kali genre ini muncul. Mungkin sudah sekitar 18 tahun lalu, ketika custom game bernama Aeon of Strife muncul di StarCraft, dan menjadi awal kemunculan genre MOBA.
Apalagi untuk saat ini, sudah ada beberapa perusahaan besar bergumul di pasar genre game ini. Mulai dari Moonton sampai Tencent lewat game Arena of Valor. “Kalau bicara persaingan, sebenarnya bisa dibilang persaingan di game Casual justru lebih berat lagi dibandingkan dengan game esports seperti MOBA. Terlebih kalau kita terus-terusan menunggu tidak ada saingan, tentu nggak bakal ada habisnya. Nanti yang ada kami malah nggak jadi-jadibikin game, gara-gara menunggu tidak ada persaingan… Haha.” Ucap Diana menanggapi hal ini.
“Namun satu hal adalah, lagi-lagi kami melihat dari segi potensi pasarnya. Kami lihat sendiri bagaimana potensi game esports dengan genre MOBA sudah terbukti di Indonesia hingga saat ini. Selain itu, kami dari tim Anantarupa Studios ketika itu merasa percaya diri dan punya kapabilitas untuk membuat ini. Bermodalkan dua hal tersebut, akhirnya tim kami pun yakin dan mencoba untuk mulai saja membuat Lokapala.” Diana menceritakan lebih lanjut.
Ternyata benar saja. Pada saat rilis, Lokapala mendapat sambutan yang cukup hangat dari komunitas gamers. Memang tidak semua sambutannya positif. Ada juga yang memberikan tanggapan negatif (termasuk saya) pada saat game ini rilis. Namun tanggapan itu sendiri disampaikan demi membuat Lokapala menjadi game yang lebih baik lagi.
“Sejauh ini memang respon dan feedback dari user cukup banyak, dan tidak semuanya positif. Namun menurut saya itu tidak masalah. Bisa jadi mungkin karena rata-rata gamers terbiasa menerima produk luar negeri, yang sudah langsung bagus pada saat pertama rilis. Namun satu yang juga perlu diketahui oleh para pengguna adalah, ada perbedaan yang cukup terasa dalam hal kapasitas pengembangan developer, antara lokal dengan luar negeri. Terlepas dari semua itu, saya merasa penerimaan Lokapala sampai titik ini sudah sangat impresif, tentunya dengan tanpa membandingkan dengan pengembang luar negeri.”
Menurut catatan Google Play, Lokapala sudah diunduh sebanyak 500.000+ kali, dengan skor rata-rata sebesar 3.4 poin. Angka ratingnya mungkin terbilang cukup rendah, tetapi ini mungkin tidak terlalu jadi masalah. Toh, orang-orang yang memberi rating kecil juga menyertakan memberikan kritik, yang bisa membantu mengarahkan Lokapala agar berkembang lebih baik lagi. Apalagi mengingat posisinya sebagai game multiplayer, tentu akan terus ada perbaikan secara terus menerus, yang bisa membuat Lokapala jadi lebih baik di masa depan.
Lokapala Sebagai Sarana Pengembangan Kekayaan Intelektual Indonesia
Pada saat mengulas Lokapala untuk pertama kalinya di bulan Februari 2020 lalu, saya sempat mengomentari soal Lokapala yang cenderung kurang Indonesia. Sebetulnya, komentar itu datang untuk menyoroti ketidakhadiran bahasa Indonesia pada saat Lokapala rilis versi beta. Namun, komentar tersebut juga terlontar setelah saya melihat beberapa Ksatriya (sebutan untuk Hero) di Lokapala.
Ketika itu saya berasumsi, walaupun Ksatriya datang dari sejarah dan mitologi Indonesia, namun alasan kenapa saya tidak mengenal beberapa mungkin karena beberapa karakter bersifat orisinil buatan Anantarupa Studio sendiri. Masih penasaran, saya pun menanyakan hal ini kepada Diana. Benar adanya bahwa basis cerita Lokapala ini datang dari sejarah dan mitologi Indonesia. Namun para Ksatriya disajikan setelah melalui proses reinterpretasi, agar karakter tersebut bisa menjadi IP original Lokapala.
“Salah satu contohnya itu Gatot Kaca. Kalau di Lokapala, namanya adalah Ilya. Ini karena ketika tim kami melihat kisah Gatot Kaca, ternyata ceritanya adalah dia menjadi kuat karena kekuatan yang diberikan oleh para dewa. Maka dari itu, untuk Lokapala, kami melakukan proses reinterpretasi. Kami gambarkan Gatot Kaca itu sebagai anak kecil perempuan, namun dia diberikan sebuah robot bersenjatakan penuh yang membuatnya jadi siap bertempur.” Diana menceritakan soal proses reinterpretasi Gatot Kaca menjadi Ksatriya bernama Ilya di dalam Lokapala.
“Jadi, walaupun berdasarkan dari sejarah serta mitologi lokal, namun tidak selalu karakter akan muncul dengan nama dan rupa yang sama. Seperti Gatot Kaca, tidak selamanya harus selalu berpenampilan sebagai laki-laki yang punya logo bintang di dadanya bukan? Terlebih tujuan lain kami dalam pembuatan game ini adalah, untuk pengembangan Intelectual Property (IP) atau Kekayaan Intelektual. Jadi Lokapala nantinya menjadi platform atas IP lokal yang berasal dari sejarah dan budaya Indonesia. Maka dari itu untuk beberapa Ksatriya, walau berasal dari sejarah dan budaya lokal, namun kami buat ulang, ceritakan ulang, dan dibungkus menjadi Ksatriya di Lokapala.” Diana menjelaskan soal Lokapala dan tujuannya untuk mengembangkan IP lokal.
Game online memang bisa dibilang menjadi ladang untuk menciptakan IP baru. Ini mungkin paling terlihat dari metode Blizzard dalam membesarkan Overwatch. Tidak sekadar menjadi game kompetitif saja, Overwatch berkembang menjadi sebuah cerita dengan dunianya sendiri, yang disajikan lewat serial Overwatch Animated Shorts.
Jadi, jika pengembangan IP menjadi tujuan lain dari Lokapala, akankah kita bisa menikmati konten seperti cerita latar belakang dari masing-masing Ksatriya dalam bentuk lain? Diana memberi tahu, bahwa semua itu sudah berada dalam rencana pengembangan mereka. “Tentu nggak bisa sekaligus, namun jika bicara karakter Lokapala dalam bentuk media lain, semua itu sudah dalam rencana dan masuk dalam linimasa pengembangan kami.” ucapnya.
Terlebih, pada saat proses pengembangannya, Lokapala sendiri memang sudah berkolaborasi dengan beberapa insan kreatif lokal. Ilustrasi karakter misalnya, dilakukan berkolaborasi dengan Caravan Studio. Musik untuk Lokapala disajikan berkolaborasi dengan InHarmonics. “Kami punya keinginan agar industri kreatif Indonesia bisa maju bersama-sama menjadi lebih baik.” Lanjut Diana membahas Lokapala sebagai sarana pengembangan kekayaan intelektual.
Esports dan Masa Depan Lokapala
Ketika membahas soal Lokapala, satu yang menarik adalah bagaimana Anantarupa Studios dan OOLEAN GAMES begitu ambisius soal esports. Hal ini salah satunya terlihat ketika Lokapala pertama kali diluncurkan pada 20 Mei 2020 Silam. Lewat gelaran konferensi persi, Lokapala ketika itu langsung mengumumkan beberapa inisiatif esports, dengan jumlah hadiah yang tidak main-main.
Pada saat peluncurannya, dikatakan bahwa setidaknya akan ada 5 turnamen untuk game Lokapala, yang punya total hadiah keseluruhan mencapai 1 miliar Rupiah. Lima turnamen yang direncanakan tersebut adalah: Piala Menpora 2020 dengan perkiraan total hadiah sebesar Rp550 juta, Weekly Online Amateur Championship dengan perkiraan total hadiah sebesar Rp56 juta, Melon Mini Tournament dengan perkiraan total hadiah sebesar Rp70 juta, Melon Minor Tournament dengan perkiraan total hadiah sebesar Rp150 juta, dan Melon Major Tournament dengan perkiraan total hadiah sebesar Rp250 juta.
Turnamen-turnamen tersebut direncanakan akan berjalan satu per satu mulai dari bulan Mei hingga Desember 2020, dengan Melon Minor Tournament yang kini sedang bersiap-siap menuju Season 2. Rencana ini tentu sangat positif karena game kompetitif seperti Lokapala memang butuh turnamen untuk menjadi wadah pembuktian para pemainnya. Tapi pertanyaannya, setelah jorjoran melimpahkan dana untuk hadiah turnamen di tahun ini, apakah inisiatif esports ini bisa terus berkelanjutan di masa depan?
Terkait soal ini, sayangnya Diana tidak bisa memberikan pandangannya secara lebih detil. Namun satu yang pasti tim Anantarupa Studios membagikan beban tugas ini dengan sang publisher, OOLEAN GAMES. “Pemain sebetulnya tidak perlu khawatir kalau bicara soal masa depan game Lokapala karena sudah ada pembagian tugas antara pengembangan game dengan pengembangan esports. Fokus tim Anantarupa adalah mengembangkan Lokapala agar game ini jadi lebih baik, lebih menarik, lebih bagus secara visual, dan lebih teroptimasi agar dapat dimainkan oleh lebih banyak orang lagi. Sementara itu, esports dan turnamen diurus oleh rekan publisher kami, yaitu OOLEAN GAMES.” jawab Diana.
Kekhawatiran ini sendiri sebenarnya muncul dari pengalaman saya pribadi, karena melihat salah satu MOBA di mobile favorit saya, Vainglory, semakin meredup seiring waktu. Terlalu fokus pada pengembangan esports, bisa dibilang jadi salah satu alasan. Vainglory pada awal masa kejayaannya memiliki turnamen esports dengan hadiah yang cukup besar.
Namun seiring waktu Super Evil Megacorp (SEMC) selaku developer/publisher mulai terlihat seperti kehabisan dana. Pasca Vainglory World Championship 2017, Vainglory mulai meredup, ternyata dampak dari mengeluarkan dana besar untuk esports tidak sebegitu positif. Sampai akhirnya SEMC melepas Vainglory dan memberikannya kepada komunitas pada 2 April 2020. Jadi, semoga saja sustainabilitas serta hype Lokapala bisa terjaga sampai bertahun-tahun ke depan, dan tidak mengulang kesalahan yang sama seperti Vainglory.
Masih soal esports, hal kedua yang juga menjadi pertanyaan adalah soal Lokapala untuk pasar luar Indonesia. Hingga saat ini, Lokapala cuma memiliki server lokal Indonesia saja. Tetapi kembali lagi, sebagai game kompetitif, para pemainnya tentu berharap bisa membuktikan kemampuan dirinya di tingkat yang setinggi mungkin, sampai tingkat internasional.
“Memang tujuan akhir Lokapala bukan hanya untuk publish di Indonesia saja. Membuat game yang bisa dinikmati masyarakat global juga menjadi mimpi kami dari Anantarupa Studios. Namun, untuk saat ini fokus kami adalah untuk Indonesia terlebih dahulu. Kami lihat terlebih dahulu bagaimana perkembangan di Indonesia, sambil juga melihat negara mana lagi yang menarik untuk menjadi target pasar selanjutnya bagi Lokapala.” Diana menjelaskan soal ini.
Terakhir yang mungkin juga jadi pertanyaan bagi para pemain adalah soal konten. Sebagai game multiplayer, sudah pasti update konten, dan berbagai perbaikan menjadi hal yang diharapkan. Tiara Evalda (Ravalda) juga menyatakan harapan ini pada saat saya tanyakan pendapatnya soal Lokapala dan Melon Minor Tournament beberapa waktu lalu.
Diana lalu sedikit menjelaskan, bagaimana rencana masa depan Anantarupa Studios dalam mengambangkan Lokapala. “Untuk ke depan, setiap bulannya kita pasti akan ada update terkait karakter atau skin baru. Untuk soal fitur, sayangnya saya belum bisa bicara pasti soal apa saja yang akan rilis nantinya. Tapi yang pasti kami sudah memiliki timeline yang mengatur kapan konten baru rilis, baik itu fitur ataupun karakter baru.”
—
Setelah beberapa bulan pengembangan saya merasa bahwa Lokapala mendapat penerimaan yang cukup hangat dari komunitas gamers Indonesia. Beberapa pemain merasa memiliki kepentingan mendukung perkembangan game ini, sebagai bentuk rasa bangganya atas produk buatan lokal. Semoga saja Lokapala bisa menjadi lebih baik dan semakin besar di masa depan.
Siapa yang tahu, mungkin beberapa tahun ke depan Lokapala akan mendunia, dan memiliki turnamen internasionalnya tersendiri? Mari kita doakan yang terbaik bagi Anantarupa Studio dan game Lokapala!
This article first appeared in Hybrid.co.id. Republish as part of a collaboration with ONE Esports.