Jujur saja saya katakan di awal artikel ini bahwa saya sebenarnya tidak suka dengan jawaban pasti atas pertanyaan-pertanyaan semacam ini. Apalagi biasanya, pertanyaan ini dihubungkan dengan ranah perkawinan, eh pernikahan…

Namun begitu, saya sangat percaya bahwa tidak ada pertanyaan yang bodoh (yang ada hanyalah jawaban ignorant dan oversimplified) jadi pertanyaan ini sebenarnya sah-sah saja. Ditambah lagi, artikel ini mungkin dapat membantu menjawab kegundahan mereka yang bingung dengan kapan waktu yang tepat untuk mulai terjun ke esports.

Di artikel ini, saya juga akan membaginya menjadi dua bagian. Pasalnya, berkarier di esports itu bisa dibagi menjadi 2 aspek besar: menjadi atlet esports atau berkarier sebagai pekerja di industri esports-nya (seperti jadi manajer, desainer, jurnalis, video editor, league opsevent organizer, dkk.).

Seperti biasa, saya harus katakan bahwa artikel ini merupakan pendapat saya berdasarkan pengalaman dan pengamatan saya. Jadi, sebagai bentuk justifikasi atas pengalaman tadi, saya sudah menjadikan bermain game sebagai hobi utama saya sejak kelas 4 SD sampai sekarang dan saya pun sudah terjun ke industri game penuh waktu sebagai jurnalis sejak saya lulus kuliah di 2008. Filosofi gaming juga bahkan menjadi falsafah hidup saya sampai hari ini.

Jadi tanpa basa basi lagi, mari kita bahas bersama perihal usia yang tepat untuk terjun ke esports.

Usia ideal untuk menjadi pro player di esports?

Mengingat pertimbangan jawabannya lebih kompleks daripada menjadi pekerja lainnya di industri esports, kita akan membahas soal usia jadi pro player di esports lebih dulu.

Kenyataannya, jam terbang adalah penentu terbesar dari keahlian kita — apapun itu bentuknya — termasuk keahlian untuk bermain game. Maka dari itu, jika kita melihat keahlian dari ranah lainnya, kita akan melihat banyak orang yang mulai belajar hal tersebut sejak remaja atau bahkan Sekolah Dasar.

Dari ranah bermusik, misalnya, tidak sedikit juga musisi-musisi kelas dunia yang mulai belajar sejak mereka masih sangat muda. Bassist legendaris di kelas dunia, Victor Wooten, mulai belajar bermusik bahkan sejak ia masih sangat belia. Anda bisa melihat ceritanya di video di bawah ini.

Echa Soemantri, salah satu drummer tanah air paling keren (menurut saya) juga setahu saya sudah mulai belajar bermain drum sejak ia masih anak-anak. Saya yakin Anda juga bisa menyebutkan cerita yang tak jauh berbeda dari musisi-musisi lain yang kemampuannya jauh di atas rata-rata musisi profesional lainnya.

Dari ranah olahraga? Kisah-kisah serupa juga tidak jarang bisa kita temukan. Menurut laporan dari The Economist, Tiongkok bahkan merekrut anak-anak tertentu untuk dimasukkan ke dalam pelatihan atlet olimpiade sejak usia dini.

Kemudian pertanyaan pentingnya, apakah hal serupa juga bisa diterapkan ke keahlian bermain game? Seperti misalnya memberikan waktu bermain game yang sebanyak-banyaknya ke anak-anak yang masih SD sekalipun. Jawabannya sebenarnya bisa-bisa saja namun, menurut saya, saat ini masih belum masuk akal.

Kenapa saat ini belum masuk akal untuk mengembangkan bakat semaksimal mungkin sebagai pro playeresports sejak anak-anak? Pertama, jika dibandingkan dengan musik dan olahraga, game-nya mungkin tidak akan bertahan selama itu. Anggap saja seperti ini, jika Anda sudah berlatih bermain gitar atau bulu tangkis sejak usia 5-7 tahun misalnya, kemungkinan besar gitar dan bulu tangkis masih akan ada saat Anda bahkan berusia 40 tahun nanti.

Namun, saya tidak bisa mengatakan hal yang sama untuk game yang spesifik. Dota 2 misalnya. Beberapa tahun silam, game ini memang jadi game dan esports paling berkembang di Indonesia. Namun sekarang? Demikian juga dengan MLBB, PUBG M, dan Free Fire. Sekarang, ketiganya memang masih mendominasi ekosistem esports di Indonesia. Namun bagaimana 20 tahun kemudian? Apakah Mobile Legends masih bertahan dengan ekosistem esports-nya? Apakah PUBG M atau Free Fire masih ramai dimainkan 20 tahun lagi?

Industri game memang masih akan bertahan sampai anak saya punya anak lagi, dan seterusnya. Namun belum tentu judul game yang sama masih akan bertahan selama itu. Padahal jika kita berbicara soal kemampuan bermain di tingkatan profesional itu sangat spesifik. Maksudnya jika Anda jago bermain bulu tangkis, tidak otomatis juga Anda akan jago bermain tenis ataupun tenis meja — meskipun kelihatannya mirip.

Musisi kelas atas juga sebenarnya hampir selalu bisa dipastikan untuk mampu memainkan lebih dari salah satu alat musik namun tingkat permainannya pasti berbeda-beda dan hanya satu alat musik yang jadi andalan utamanya.

Contoh saja, Michael Jordan memang bisa dibilang pemain basket paling legendaris sepanjang masa. Namun, saat ia beralih ke golf, ia tetap tidak bisa mencapai tingkatan yang sama dengan Tiger Woods. Demikian juga dengan Victor Wooten, kemungkinan besar, ia juga bisa bermain drum atau piano namun keahliannya di sana tidak bisa setingkat dengan keahliannya bermain bass.

Demikian juga dengan kemampuan bermain game. Saya tahu memang ada pemain seperti Ryan “supernayr” Prakasha ataupun Rivaldi “R7” Fatah yang jago di lebih dari 1 game. Namun, faktanya, kebanyakan pemain Dota 2 dari Indonesia memang tidak semudah itu berpindah ke MOBA di mobile. Tidak ada juga pro player lain yang bisa lintas genre (MOBA, FPS, Battle Royale) seperti supernayr.

Itu tadi alasan kenapa memang tidak masuk akal berlatih maksimal di satu game sejak anak-anak, karena industri game-nya yang lebih dinamis dan adaptasi kemampuan bermain kita yang tidak setinggi itu.

Di sisi lain, saya bukannya melarang juga untuk serius berlatih di satu game sejak anak-anak ataupun usia remaja. Menurut saya, berlatih serius bermain game juga memiliki nilai positifnya asalkan alokasi waktunya yang (saat ini) belum bisa disejajarkan dengan waktu berlatih musik ataupun olahraga karena alasan tadi. Meski keduanya kerap kali disandingkan bersebelahan, menurut saya, esports dan olahraga tidak bisa disamakan begitu saja.

Bagi saya pribadi, manajemen alokasi waktu inilah yang lebih penting dari sekadar usia berapa seseorang boleh berlatih serius untuk menjadi pemain profesional. Hal ini juga berlaku jika seseorang ingin bergabung ke tim esports yang memang serius mengejar prestasi dari berbagai kompetisi.

Sumber: Aerowolf

Jika berbicara soal alokasi waktu dan prioritas, ada cerita dari 2 orang pro player yang menurut saya masuk akal untuk dijadikan pertimbangan. Cerita tersebut datang dari Baskoro “roseau” Dwi Putra dan Jason “f0rsaken” Susanto. Keduanya sama-sama dari skena CS:GO Indonesia yang dulu memang cukup besar namun perlahan tenggelam.

Roseau, ketika ia masih di NXL, sempat bercerita ke saya bahwa ia bisa jadi sarjana dan juara di turnamen internasional di tahun yang sama. Jason juga tidak berbeda jauh ceritanya meski tingkat pendidikan dan usia yang berbeda. Saat masih di Aerowolf dan berusia 13 tahun, Jason mengaku bahwa ia diizinkan bermain untuk timnya (oleh orang tuanya) jika nilai sekolahnya tidak berantakan.

Pertimbangan seperti tadilah yang menurut saya lebih masuk akal. Karena, mereka tidak mengorbankan seluruh waktunya untuk berlatih apalagi dengan melihat kondisi skena esports CS:GO sekarang di Indonesia.

Sekali lagi, menurut saya, usia bukan jadi pertimbangan yang relevan untuk terjun ke esports sebagai pro player — kecuali mungkin Anda sudah terlalu tua. Pertimbangan yang lebih relevan apakah Anda bisa membagi alokasi waktu dan prioritas atau ada orang lain (seperti orang tua) yang bisa melakukannya untuk Anda?

Kenapa pertimbangannya jadi seperti itu? Karena skena esports Indonesia yang masih sangat dinamis dan saya juga melihat tidak sedikit mantan-mantan pro player Indonesia yang akhirnya tak bisa move-on saat ekosistemnya sudah tandus. Idealnya, menurut saya, cerita mantan pemain esports yang bisa dijadikan teladan adalah Ariyanto “Lakuci” Sony. Di DotA, ia adalah pemain legendaris yang dikagumi semua orang dan ditakuti lawan-lawannya. Namun, setelah ia gantung mouse, ia pun sukses dengan bisnisnya.

Saya tahu memang mungkin tidak bisa semudah itu juga bisa menjadi pro player legendaris yang kemudian sukses berbisnis. Namun setidaknya, menurut saya, rencana jangka panjang pasca pensiun dari pro player inilah yang harus dipertimbangkan dengan matang.

Terakhir, untuk menutup bagian ini, sebelum salah kaprah, tentu saja saya tidak melarang hobi bermain game sejak anak-anak juga. Sampai hari ini pun saya juga masih bermain game sampai pagi… Saya juga senang melihat anak saya bermain Minecraft setiap hari. Namun yang perlu diperhatikan dan dipertimbangkan dengan sangat baik adalah saat mengorbankan segalanya untuk berlatih dan menjadikan kemampuan bermain game sebagai satu-satunya skill hidup Anda.

Usia ideal untuk berkarier di industri esports?

Bagi saya pribadi, jawaban atas pertanyaan ini jauh lebih mudah untuk disuguhkan.

Ada beberapa alasan kenapa pertanyaan ini lebih mudah dijawab. Pertama, dari tuntutan pekerjaannya sendiri, Anda tidak bisa hanya bermodalkan suka alias passion bermain game untuk bisa sukses sebagai pekerja di industri esports.

Pengetahuan dan ketertarikan di game memang menjadi nilai lebih yang sangat berharga namun hal tersebut harus diimbangi dengan skill utama pekerjaan Anda. Misalnya, sehebat apapun pengetahuan ataupun kemampuan bermain Anda, Anda tidak cocok juga jadi desainer grafis di industri esports jika tidak bisa nge-crop rambut.

Demikian juga dengan pekerjaan lainnya seperti penulis atau jurnalis di game atau esports. Tanpa kepekaan dan pemahaman lebih terhadap susunan huruf, kata, kalimat, dan juga paragraf, bagi saya, Anda memang tidak cocok jadi penulis atau jurnalis di industri ini.

Dokumentasi: Herry Wijaya
Dokumentasi: Herry Wijaya

Pekerjaan-pekerjaan lainnya di esports (kecuali pro player tadi), saya kira demikian juga tuntutannya. Anda harus paham broadcasting, penyelenggaraan event, ataupun segala macam fundamentalnya jika ingin mencari nama di ranah event organizer esports.

Kedua, tuntutan sebagai pekerja di industri esports ini lebih berat pada kemampuan kognitif seseorang — bukan pada penekanan muscle memory ataupun reflek yang begitu tinggi jika ingin jadi pro player. Kemampuan kognitif ini bisa lebih fleksibel jika harus beradaptasi di industri lainnya. Misalnya seperti desainer grafis tadi, tuntutan nge-crop rambut ini juga tetap akan dicari di industri lainnya di luar esports. Setidaknya, kemampuan kognitif pekerja profesional ini lebih mudah untuk diadaptasikan ke industri lainnya — andaikan industri esports di Indonesia luluh lantak wkwakakwakwa… 

Karena itulah, untuk mengasah skill-skill yang nantinya akan sangat berguna di industri esports sebenarnya bisa dilakukan sejak sedini mungkin. Misalnya saja, saya memang juga sudah tertarik dengan hal-hal yang berbau tulis menulis dan berbahasa sejak SD sampai hari ini. Contoh lain, mereka yang tertarik dengan fotografi, video, ataupun desain grafis, pemahaman soal komposisi, warna, perspektif, dan segala macamnya, bagi saya, tidak ada masalah apapun jika memang ingin dimaksimalkan belajarnya sedari kecil.

Meski demikian, jika Anda memang masih sekolah (atau kuliah) dan berasal dari keluarga yang mampu menghantarkan Anda lulus kuliah, idealnya Anda hanya menjadikan pengalaman belajar hal-hal tadi paruh waktu. Walaupun karena alasan dan tujuan yang benar-benar berbeda, hanya karena sebatas kewajiban Anda menyelesaikan tanggung jawab yang diberikan oleh orang tua Anda.

Penutup

Akhirnya, artikel ini mungkin memang jadinya seolah terlihat menganaktirikan atau menyudutkan kemampuan bermain game ketimbang kemampuan kognitif lain yang jadi tuntutan para pekerja profesional lainnya. Namun demikian, jujur saja, dari pengalaman saya berkecimpung di industri ini lebih dari 10 tahun, itulah pendapat saya.

Sumber: dbltap.com
Sumber: dbltap.com

Pasalnya, resep sukses menjadi seorang pro player ada pada kombinasi yang ideal antara kemampuan kognitif Anda memahami game tersebut dengan kemampuan fisik Anda (muscle memory, reflek, koordinasi mata dan tangan, dkk.). Sebaik apapun Anda menghitung DPS ataupun hitung-hitungan lainnya di MOBA, semuanya tidak akan ada gunanya sebagai pro player jika Anda tidak bisa bereaksi secepat mungkin di saat pertempuran. Kemampuan fisik inilah yang tidak semudah itu diterjemahkan ke game lainnya. Seperti kemampuan Anda bermain drum tidak akan semudah itu diterjemahkan jadi kemampuan Anda bermain gitar.

Jadi, kembali ke judul artikel ini… Berapakah usia yang tepat untuk terjun ke esports? Jawabannya, tergantung — tapi bukan Hybrid namanya jika hanya memberikan jawaban tanpa argumentasi yang jelas.

Jika ingin terjun sebagai pro player, menurut saya, tidak ada usia yang ideal sampai Anda mempersiapkan backup plan setelah pensiun. Kecuali, Anda memang tidak peduli dengan hidup Anda setelah pensiun dari pro player. Sebaliknya, jika Anda ingin terjun sebagai seorang profesional di industri esports, sedini mungkin Anda mulai serius belajar dan mengumpulkan pengetahuan, hasilnya (kemungkinan besar) akan lebih maksimal di masa depan — selama Anda tetap harus menjalankan kewajiban terhadap orang tua yang sudah susah payah membesarkan Anda.

This article first appeared in Hybrid.co.id. Republish as part of a collaboration with ONE Esports.