Industri esports kini semakin diakui oleh masyarakat, khususnya di tengah pandemi. Seiring dengan meningkatnya popularitas esports, semakin besar pula pemasukan industri esports. Salah satu pelaku utama dalam industri esports, tentu saja, adalah organisasi atau tim esports. Tanpa keberadaan pemain dan tim profesional, industri esports tidak akan ada.
Newzoo memperkirakan industri esports bernilai Rp15,4 triliun pada 2020. Pada akhir 2019, Forbes membuat daftar 12 organisasi esports dengan valuasi tertinggi. Semua organsiasi yang ada di daftar tersebut memiliki valuasi lebih dari US$100 juta. Dua organisasi yang duduk di posisi nomor satu, Team SoloMid (TSM) dan Cloud9, sama-sama memiliki valuasi sekitar US$400 juta.
Pertanyaannya, kok bisa? Memang, organisasi esports dapat pemasukan dari mana?
Pemasukan
Organisasi esports beroperasi layaknya startup, seperti yang disebutkan oleh HotSpawn. Saat ini, mereka belum menghasilkan laba. Hal ini merupakan salah satu alasan mengapa sejumlah organisasi esports berusaha untuk mencari dana dari para investor, seperti yang dilakukan oleh EVOS Esports tahun lalu. Memang ada investor yang mau menanamkan modal di organisasi esports? Ada. Dan jumlahnya terus bertambah. Sekarang, organisasi esports dianggap tengah berada di tahap membangun fanbase. Ke depan, para investor percaya, organisasi esports akan bisa memonetisasi audiens esports.
Tentu saja, organisasi esports tak bisa hanya menggantungkan diri pada modal dari investor. Mereka juga memiliki beberapa sumber pendapatan lain. Berikut penjelasannya.
Sponsorship
Sponsorship menjadi salah satu sumber pemasukan utama bagi organisasi esports. Menurut laporan GamingStreet, 90 persen dari total pemasukan organisasi esports berasal dari sponsorship. Jenis sponsorship beragam. Ada sponsor yang ingin agar logo atau nama mereknya tertempel di jersey pemain — sama seperti merek Etihad yang terpasang pada jersey pemain Manchester City. Sayangnya, jika dibandingkan dengan sepak bola atau basket, pemasangan logo pada jersey atlet esports tidak terlalu efektif. Karena, dalam pertandingan esports, kamera justru jarang menyorot para pemain. Biasanya, pertandingan esports fokus pada tampilan in-game.
Mengetahui hal itu, ada juga sponsor yang ingin menjalin kerja sama dalam membuat konten di media sosial. Memang, jika dibandingkan dengan atlet olahraga tradisional, atlet esports jauh lebih aktif di dunia internet. Organisasi esports selalu memiliki akun di berbagai media sosial. Para pemain profesional juga biasanya memiliki akun sendiri. Mereka juga cukup aktif berinteraksi dengan para fans, mulai dari sekadar membuat unggahan di media sosial sampai melakukan lives streaming, Melalui kerja sama ini, sponsor bisa menjangkau generasi milenial dan Gen Z, yang dikenal sulit dijangkau karena mereka lebih memilih mengonsumsi konten di internet daripada menonton televisi atau mendengarkan radio.
Hadiah Turnamen
Selain sponsor, sumber pemasukan lain bagi organisasi esports adalah hadiah turnamen. Seiring dengan semakin populernya esports, semakin besar juga total hadiah yang ditawarkan dalam sebuah kompetisi esports. Misalnya, The International, turnamen Dota 2 paling bergengsi di Indonesia, menawarkan total hadiah yang terus naik dari tahun ke tahun. Pada 2019, total hadiah The International mencapai lebih dari US$34 juta. Berdasarkan data dari Esports Earnings, The International telah menjadi turnamen esports dengan total hadiah terbesar selama lima tahun berturut-turut, yaitu sejak 2015. Contoh lainnya adalah Fortnite World Cup (FWC), yang menawarkan total hadiah US30 juta.
Memang, selain dua turnamen itu, tidak ada turnamen esports lain yang menawarkan hadiah lebih dari US$10 juta. League of Legends World Championship pada 2018 — yang merupakan turnamen esports dengan total hadiah terbesar ke-9 setelah TI dan FWC — “hanya” menawarkan total hadiah sebesar US$6,45 juta. Meskipun begitu, ada puluhan turnamen esports yang menawarkan total hadiah setidaknya US$1 juta.
Soal pembagian hadiah turnamen, setiap organisasi esports biasanya memiliki ketentuan masing-masing. Di Indonesia, EVOS dan RRQ sama-sama mengatakan bahwa sebagian besar total hadiah yang mereka menangkan menjadi hak para pemain. Sebagai perbandingan, EVOS mendapatkan setidaknya Rp6 miliar di 2019 dan RRQ Rp5,7 miliar dari total hadiah turnamen selama satu tahun. Angka tadi belum menghitung pembagian antara jatah manajemen dengan para pemainnya.
Lain halnya dengan organisasi esports yang berlaga di liga League of Legends Championship Series (LCS) di Amerika Utara. Sebagian besar dari hadiah yang tim menangkan biasanya masuk ke kas tim.
Semua tim yang berlaga di LCS berhak mendapatkan 32,5 persen dari total pemasukan liga tersebut. Setengahnya dibagikan secara merata pada semua tim. Sementara setengah sisanya akan dibagi berdasarkan kontribusi masing-masing tim dalam view dan interaksi dengan penonton.
Jadi, semakin banyak orang yang menonton pertandingan sebuah tim sepanjang liga, semakin besar pula pemasukan yang tim dapatkan. Mengingat LCS menggunakan model franchise, tidak sembarangan tim bisa ikut dalam LCS. Menariknya, hanya tim yang memiliki strategi untuk mengembangkan fanbase mereka yang diizinkan untuk ikut serta dalam LCS.
Merchandise
Sama seperti olahraga tradisional, tim esports juga mulai menjual merchandise untuk para fans mereka. Sayangnya, perilaku para fans esports dalam membeli merchandise dari tim favoritnya berbeda dengan fans olahraga tradisional.
Dalam riset berjudul “Comparison of eSports and Traditional Sports Consumption Motives” yang ditulis oleh Donghun Lee, Ball State University dan Linda J. Schoenstedt, Xavier University, dijelaskan bahwa fans esports biasanya tidak menghabiskan banyak uang untuk membeli merchandise dari tim favorit mereka. Meskipun begitu, penjualan merchandise tetap bisa menjadi salah satu sumber pemasukan organisasi esports.
Di Indonesia, EVOS Esports bahkan membuat toko merchandise sendiri. Alasan mereka karena tingginya permintaan fans akan merchandise EVOS. Memang, pada Mobile Legends Professional League ID S4 dan M1, EVOS berhasil menjual merchandise mereka sampai habis dan mendapatkan Rp150 juta. Namun, jika dibandingkan dengan total hadiah dari turnamen yang dimenangkan oleh EVOS — yang mencapai lebih dari Rp6 miliar — angka penjualan merchandise itu terasa sangat kecil.
Di dunia, masing-masing tim esports memiliki caranya sendiri dalam menjual merchandise. Salah satu organisasi esports yang menggunakan metode unik adalah 100 Thieves. Daripada menjual merchandise secara massal, 100 Thieves berusaha untuk menjadikan merchandise mereka barang eksklusif, yang justru semakin diminati ketika harganya semakin mahal. Caranya, mereka menjual merchandise dalam jumlah terbatas. Menariknya, metode ini sukses. Biasanya, merchandise 100 Thieves akan habis terjual dalam waktu kurang dari 30 menit.
Hanya saja, jika dibandingkan dengan nilai penjualan merchandise tim olahraga tradisional, seperti sepak bola, pendapatan organisasi esports dari merchandise relatif lebih kecil. Namun demikian, paradigma fans esports yang kalah loyal dengan fans olahraga mungkin bisa jadi dipatahkan jika program paid membership EVOS yang diluncurkan tahun ini sukses besar.
Selain perbedaan perilaku fans, alasan lainnya adalah karena stadion yang digunakan untuk menyelenggarakan pertandingan esports biasanya memiliki kapasitas yang jauh kecil dari stadion untuk olahraga tradisional. Sebagai perbandingan, Intel Extreme Masters, salah satu turnamen esports tahunan paling bergengsi, diadakan di Spodek yang memiliki kapasitas 11.500 orang. Sementara itu, Camp Nou, stadion Barcelona memiliki kapasitas 99.354 tempat duduk.
Konten dan Streaming
Saat ini, sebagian besar pemasukan organisasi esports memang berasal dari sponsorship. Namun, seiring dengan munculnya tim-tim esports baru, pada satu titik, jumlah sponsor tak lagi memadai untuk menyokong semua organisasi esports yang ada. Jadi, organisasi esports harus bisa mencari sumber pemasukan lainnya, seperti melalui iklan. Untuk bisa menarik pengiklan, sebuah organisasi esports harus bisa mendapatkan fanbase yang cukup besar. Caranya, dengan menyediakan konten menarik secara rutin.
Jika dibandingkan dengan atlet atau tim olahraga tradisional, pemain profesional dan organisasi esports sangat akrab dengan dunia digital. Seperti yang saya tuliskan sebelumnya, setiap organisasi esports pasti memiliki akun media sosialnya masing-masing yang memungkinkan mereka untuk berinteraksi langsung dengan para fans. Beberapa organisasi esports bahkan memiliki divisi khusus yang menaungi streamer untuk membuat konten. Berbeda dengan atlet esports yang dituntut untuk memberikan performa terbaik, streamer bertugas untuk membuat konten yang menghibur.
Di Indonesia, contohnya adalah EVOS Esports. Faktanya, investasi yang mereka dapatkan dari Insignia Venture Partners tahun lalu justru digunakan untuk mengembangkan divisi entertainment mereka. Baru-baru ini, mereka juga bekerja sama dengan TikTok untuk mengembangkan bisnis influencer mereka.
Di luar negeri, FaZe Clan bisa dibilang sebagai organisasi esports yang terdepan dalam hal streaming dan produksi konten karena sejarah mereka yang memang berawal dari sana. Belum lama ini, mereka juga bahkan mengumumkan tentang proyek Cinematic Universe mereka yang akan tayang di tahun 2020.
Pengeluaran
Setelah membahas tentang sumber pemasukan organisasi esports, mari melihat sumber pengeluaran mereka. Satu hal yang pasti, membuat organisasi esports profesional membutuhkan biaya yang cukup besar, terutama sebelum Anda mendapatkan sponsor atau menemukan investor. Kemungkinan besar, Anda harus merugi dan tidak mendapatkan pendapatan apapun di tahun-tahun awal.
Lalu, apa saja pengeluaran organisasi esports?
Gaji Pemain dan Staf
Dulu, pemain esports mungkin hanya mendapatkan penghasilan dari hadiah turnamen yang mereka menangkan. Namun, sekarang, atlet esports mendapatkan gaji bulanan, layaknya pekerja biasa. Seiring dengan semakin populernya esports, semakin besar pula gaji para pemain profesional. Tentu saja, tidak semua pemain profesional punya gaji yang sama. Biasanya, besar gaji pemain ditentukan berdasarkan performa dan ketenaran pemain tersebut.
Gaji minimal pemain Mobile Legends Pro League adalah Rp7,5 juta per bulan. Sementara itu, di tingkat global, gaji rata-rata pemain League of Legends European Championship (LEC) mencapai €250 ribu (sekitar Rp3,9 miliar) per tahun atau €20,8 ribu (sekitar Rp334 juta) per bulan. Selain pemain pro, organisasi esports juga harus mempekerjakan staf lainnya, seperti pelatih, manager, analis, dan dalam beberapa kasus, psikolog. Untungnya, gaji staf biasanya tidak sebesar pemain bintang.
Contohnya, di Team SoloMid, pemain pro dengan gaji tertinggi, sebesar US$311 ribu per tahun, adalah Anthonny “ZexRow” Colandro. Sementara gaji rata-rata staf TSM hanya mencapai US$109 ribu per tahun. Namun, jumlah staf TSM jauh lebih banyak dari total pemain esports. Menurut data dari Craft, total pegawai TSM mencapai 665 orang. Sebagai perbandingan, total atlet esports mereka hanyalah sekitar 34 orang.
Sewa/Beli Gaming House
Sama seperti olahraga tradisional, pemain profesional juga memiliki jadwal latihan yang padat. Karena itu, biasanya organisasi esports menyediakan gaming house atau fasilitas latihan yang juga berfungsi sebagai tempat tinggal para anggota timnya. Di sana, para pemain profesional bisa berlatih tanpa harus bingung mengatur jadwal temu.
Biaya yang dikeluarkan organisasi esports untuk menyediakan gaming house beragam. 100 Thieves misalnya, menghabiskan US$35 juta untuk membuat markasnya di Los Angeles. Sementara Team SoloMid menghabiskan US$13 juta untuk membuat fasilitas latihan di California pada tahun lalu. Mereka juga berencana membangun gaming center bernilai US$50 juta.
Di Indonesia, jika kita hitung-hitungan kasar, harga sewa rumah dengan 4 kamar bisa mencapai Rp385 juta per tahun di sekitar Jakarta. Sedangkan untuk biaya listrik bulanan, sebuah gaming house mungkin bisa mencapai Rp1-5 juta sebulan — mengingat tim esports PC bisa jadi lebih boros soal listrik ketimbang tim esports mobile. Dengan begitu, biaya untuk sewa rumah dengan listriknya bisa mencapai Rp397-445 juta per tahun.
Tentu saja, itu tadi hanyalah hitung-hitungan kasar saja. Angkanya, bisa jadi tidak semahal itu jika Anda bisa memaksa tim esports Anda tinggal di RSSSSSSS (Rumah Sangat Sederhana Sempit Sekali Selonjor Saja Susah). Atau sebaliknya juga bisa jadi lebih mahal jika Anda ingin memanjakan mereka tinggal di apartemen mewah di kawasan elit Jakarta.
Secara global, ada beberapa organisasi esports yang sudah bekerja sama dengan perusahaan kredit rumah untuk membangun gaming house atau fasilitas pelatihan mereka, seperti 100 Thieves dengan Rocket Mortgage atau tim Sanguine yang berlaga di SMITE Pro League dengan Equity Prime Mortgage (EPM).
Dengan begitu, organisasi esports dapat menekan biaya yang harus mereka keluarkan untuk menyediakan tempat tinggal bagi para atlet mereka. Selain gaming house, juga ada tim yang menyediakan tempat latihan khusus, seperti Team Liquid. Terkadang, organisasi esports membuat markas yang memiliki banyak fungsi, mulai dari tempat tinggal pemain, tempat latihan, sampai menjual merchandise.
Di Indonesia, TEAMnxl memiliki tempat semacam itu yang menawarkan konsep gaming house terbuka agar fans bisa berinteraksi langsung dengan pemain idolanya. Sekaligus, mereka juga berjualan merchandise di tempat yang sama.
Biaya Produksi Konten
Memproduksi konten bagai pisau bermata dua bagi organisasi esports. Di satu sisi, konten bisa menjadi sumber pemasukan. Di sisi lain, untuk dapat membuat konten berkualitas secara rutin, organisasi esports juga harus siap untuk membayar ongkos produksi konten, mulai dari membayar tim produksi serta tim media sosial sampai menyiapkan studio dan perlengkapan yang memadai.
Hitung-hitungan biaya untuk produksi konten tim esports mungkin bisa diperkirakan seperti layaknya media ataupun kanal YouTube karena kebutuhan para profesional yang tidak jauh berbeda — seperti social media specialist ataupun videografer (yang biasanya juga merangkap sebagai video editor) — dengan perlengkapan yang tak jauh berbeda (kamera DSLR, lighting, dkk.)
Biaya Franchise
Tidak semua turnamen atau liga esports menggunakan sistem terbuka. Ada juga turnamen yang menggunakan model franchise. Untuk dapat berlaga di turnamen dengan model franchise, Anda harus membayar sejumlah uang di muka. Di Indonesia, turnamen yang menggunakan model franchise adalah Mobile Legends Pro League. Untuk bisa berlaga di MPL, sebuah tim esports harus membayar Rp15 miliar. Sementara di Amerika Utara, untuk bisa ikut dalam League of Legends Championship Series, tim esports harus membayar setidaknya US$10 juta.
Kesimpulan
Pada awalnya, sebuah tim esports mungkin dibentuk atas dasar passion, seperti saat Riki Kawano Suliawan membentuk RRQ. Namun, sekarang esports telah menjadi sebuah bisnis. Sama seperti bisnis lainnya, para pelaku esports harus mulai menghitung untung-rugi. Dan jika Anda ingin membuat organisasi esports profesional, lengkap dengan tempat latihan dan para pemain yang memang jago, maka diperlukan biaya yang tidak sedikit. Menyediakan gaming house/tempat latihan serta membayar gaji staf dan pemain menjadi sumber pengeluaran paling besar.
Sementara dari segi pemasukan, saat ini, sponsorship masih menjadi sumber pemasukan utama bagi organisasi esports. Sayangnya, mereka tak bisa hanya mengandalkan sponsorship. Karena itu, organisasi esports mulai mencari sumber pemasukan yang bisa berkelanjutan, seperti menjual merchandise atau malah mencoba inovasi baru seperti program paid membership dari EVOS.
This article first appeared in Hybrid.co.id. Republish as part of a collaboration with ONE Esports.